Pada 30 April 2019, (T) Theo Nugraha (Redaktur VJ>Play) mewawancarai seorang seniman bunyi asal Yogyakarta, (Y) Yennu Ariendra yang kini tengah aktif bergiat dengan kelompok teater kontemporer yaitu Teater Garasi. Ia juga salah satu anggota grup rock Melancholic Bitch dan bagian dari kolektif WYST (What’s Your Story Today) yang berdomisili di Yogyakarta. Wawancara ini dilakukan melalui aplikasi chat WhatsApp dan diselaraskan oleh Andang Kelana. Berikut adalah hasil wawancara VJ>Play dengan Yennu Ariendra perihal peluncuran album terbarunya sebagai Y-DRA berjudul No-Brain Dance yang dirilis oleh Yes No Wave Music pada 17 April 2019.
T: Bagaimana awal lahirnya album No-Brain Dance?
Y: Awalnya sih aku ada penelitian kecil soal peta musik elektronik/dance Indonesia (lebih ke kancah yang massive atau grassroot). Sebenarnya album ini cuma respon terhadap peta itu, membuat musik dari jaipong dangdut, koplo, patrol, organ tarling, pop minang/house Minang, dan lain sebagainya. No-Brain Dance sendiri bisa diartikan joget koplo atau joget nggak pake otak.
T: Praktik ekperimentasi apa yang kamu temukan selama pengerjaan album ini?
Y: Mungkin experimentasi justru tidak pada bentuknya, tapi pada hal-hal mendasar. Bagaimanapun juga musik elektronik /dance ini adalah perkembangan lebih lanjut dari kesenian rakyat. Sebagai contoh, Jaranan menjadi Jangdut, Jaipong menjadi Pongdut, Tarling menjadi Organ Tarling, Dangdut Melayu menjadi Koplo, dan sebagainya. Dari sini karena saya bukan pelaku musik grassroot, jadi saya berangkat dari kesenian rakyat yang saya pernah pelajari—Kendang Kempul, Tarling, Jaranan—untuk dieksperimentasikan dengan musik modern yang saya tahu, seperti Industrial, Techno, Agrotech, IDM, dan sebagainya.
T: Jadi, apakah eksperimentasinya berlaku juga kepada bebunyiannya? Seperti track Koplotronica dan Order/Disorder?
Y: Itu yang nggak diniatkan sebelumnya, he.. he.. Secara bentuk/bebunyian dari awal tidak diniatkan begitu, tapi tak disangka muncul banyak sound pecah, keras, noise, synth-synth jadul, drum rusak, dan sebagainya. Dari proses, niatannya hanya memakai pendekatan arranger Dangdut Koplo dan pemain organ tunggal. Niatannya begitu, tapi apa daya, saya sudah terlanjur western.
T: Berati masih ada sentuhan dari pengalaman bebunyian sebelumnya ya?
Y: Iya, he.. he..
T: Selama kamu mengerjakan pemetaan elektronik/dance Indonesia salah satu output-nya menjadi album: No-Brain Dance. Apakah ada rencana lain untuk output berikutnya? Seperti database misalnya?
Y: Karena belum ada yang mengerjakan peta, mungkin ini bisa saya lakukan secara kolektif. Penelitianku terbatas biaya dan waktu. Jadi, mungkin setelah pemetaan, aku akan membentuk forum atau mungkin wiki, agar semua orang bisa berpartisipasi. Dengan tujuan hanya untuk pengetahuan saja. Kalau database yang lengkap, kayaknya agak impossible. Si Sumatra saja—meskipun aku sedikit buta—ada banyak jenis musik seperti ini. Ya kecuali ada banyak orang yang ikut berkontribusi.
T: Sejauh ini sudah berapa daerah di indonesia yang terdata dalam project ini? Dan bagaimana dengan album: No-Brain Dance, apa juga mewakili riset bunyi dari berbagai daerah?
Y: Jawa kebanyakan, sedikit sentuhan Lampung, Padang, Medan. Jawa sih, karena aku punya banyak modal pengetahuan atas kesenian rakyat Jawa, khususnya daerah pesisiran. Pas bikin pemetaan jadi lebih gampang. Yang Sumatra aku masih sedikit ngawur, daerah lain seperti Indonesia Tengah dan Timur, aku masih buta.
T: Tadi katanya No-Brain Dance sendiri bisa diartikan joget koplo/joget nggak pake otak, bisa jelaskan ?
Y: Ada beberapa Alasan menggunakan kata Koplo untuk album ini. Pertama, kebanyakan seni pinggiran/grassroot—bukan semuanya—adalah sebuah resistensi atas kemapanan dan ketidakadilan. Koplo adalah perlawanan terhadap dangdut yang sudah mapan atau keadaan sosial-politik. Namun perlawanan mereka bukan seperti kegiatan aktivis, justru malah kebalikannya. Koplo, dalam bahasa Jawa, berarti goblok, bego, nggak pake otak. Sebuah pernyataan politik tidak secara langsung. Seperti ungkapan, “daripada ngomongin politik mending Dangdutan/Koplo aja”. Beberapa inspirasi musik untuk album ini, berasal dari jenis musik yang memiliki ide yang mirip dengan Koplo. Untuk saat ini, Koplo adalah aliran terbesar di Indonesia namun semacam tidak mendapatkan pengakuan yang layak.
Kedua. Mengambil nama Koplo itu sendiri (No-Brain). Koplo merupakan seni hibrida yang sangat terbuka, banyak jenis musik tumpah ruah di sana. Basis Koplo adalah ketipung, dangdut klasik dipertemukan dengan kendangan sunda, yang kemudian juga terpengaruh oleh irama Jaranan Jawa Timur. Koplo kemudian bertemu dengan K-Pop, Heavy Metal, Electro House, dan lain sebagainya. Keterbukaan ini jadi semacam ide yang penting dari album ini.
Ketiga. Karena campur-campur, kayaknya Koplo bagus untuk menjadi konter bagi musik Braindance—saya nggak terlalu yakin, kelihatannya braindance adalah untuk menyebut musik IDM. Braindance sendiri juga campur-campur musiknya.
T: Sebelumnya, “Terbujur Kaku” juga menggabungkan musik Koplo terhadap Breakcore. Lalu saat ini “Prontaxan” juga melakukan praktik remix ke beberapa playlist mereka lewat irama funkot. Bagaimana kamu melihat fenomena ini dalam beberapa tahun terakhir dalam kancah musik elektronik di indonesia?
Y: Bagus, seneng aku. Sekarang lebih banyak musisi kita yang berangkat dari ide-ide lokal. Selain karena akan terlihat unik, juga untuk menunjukkan bahwa seni lokal sebenarnya merupakan kekayaan yang sangat penting. Pendekatan yang saya lakukan mungkin lebih menimbang keberadaan seni lokal itu sendiri—lebih fokus pada sejarah, latar belakang sosial, kultural dan politik. Soal bentuknya saya nggak mikir, mungkin biar sekalian no-braindance.
T: Lalu, kenapa kayaknya Koplo menjadi konter yang bagus untuk musik braindance atau yang kita kenal dengan istilah IDM?
Y: Lebih pada pengakuan aja. Koplo adalah industri yang besar. Jauh lebih besar dari IDM, Industrial, Hardcore, dan sebagainya. Label seperti Samudra Records di pinggiran Banyuwangi, mendapatkan penghasilan 600 Juta Rupiah per bulan dari youtube saja. Kesejahteraan senimannya pun bagus dan profesional. Bukankah Koplo musik eksperimental? Paling tidak, menjadi salah satu musik baru yang kontemporer. Intinya Koplo sangatlah besar, namun belum tercatat/diakui di peta musik elektronik/dance dunia. Menyejajarkan yang lain dengan musik IDM/braindance adalah, bahwa keduanya merupakan musik yang sulit dihitung, memiliki pola yang teramat sulit untuk dituliskan dalam notasi musik, namun toh tetep bisa bikin goyang.
T: Berarti secara gak langsung album: No-Brain Dance memberi pengalaman mendengar yang baru dalam kancah elektronik?
Y: Yoi, itu harapan saya. 😄
T: Bisa jelaskan apa yang membedakan Y-DRA terhadap proyek Raja Kirik?
Y: Bedanya cuma di subyek. Satunya Jaranan Buto, satunya lagi musik elektronik/dance lokal. Selain itu, sama aja 😂. Keduanya dari grassroot atau bisa disebut seni pinggiran. Keduanya memiliki konsep awal yang sama, yaitu tentang resistensi. Keduanya adalah musik embodiment, lebih menggunakan ingatan tubuh. Embodiment Music emang biasa kita temukan di seni lokal, menggunakan rasa daripada hitungan.
T: Bagaimana kabar Melancholic Bitch? Apakah sedang mempersiapkan sesuatu?
Y: Nggak tau aku, ha.. ha.. ha… Belum ketemu lagi nih orang-orangnya.
T: Menurut kamu komposisi bunyi yang baik itu seperti apa?
Y: Wah aku ndak tahu itu. Kalo yang disebut baik/bagus atau nggak biasanya soal kesepakatan. Orang lain yang menilai. Setiap kali memulai proyek, aku selalu nggak tahu jadinya kaya apa nanti. Mungkin juga ini yang disebut eksperimentasi, tidak ada yang baik atau buruk, benar atau salah, semuanya boleh.
T: Baiklah, sekarang sedang sibuk atau mempersiapkan apa?
Y: Lagi istirahat. Job sih ada, teater, tari, iklan, dan lain-lain (yang nggak pake mikir). Tapi untuk proyek personal, aku lagi narik nafas dulu.
T: Oke, terima kasih atas waktunya
Y: Oh siiap. Sama-sama yak. Selamat berkarya 👍🙏🙏
Tautan terkait:
Y-DRA – No-Brain Dance, Yes No Wave Music
–
Lebih lanjut tentang Yennu Ariendra:
Website / Youtube / Facebook / Twitter / Instagram