Pada 14 Juli 2020, (T) Theo Nugraha mewawancarai seorang pegiat net audio (H) Hilman Fathoni, dia bergabung dengan Perkumpulan Wikimedia Indonesia, organisasi nirlaba yang mengelola aktivitas terkait Wikipedia Bahasa Indonesia pada tahun 2016. Di organisasi tersebut, selama 3 tahun, Hilman terlibat dalam proyek Creative Commons Indonesia, dengan fokus advokasi, adaptasi, dan sosialisasi tentang produk Creative Commons, yaitu lisensi Creative Commons (CC). Hingga saat ini ia masih aktif sebagai anggota Creative Commons Indonesia, Indonesia Netaudio Forum (INF), dan baru-baru ini merintis proyek pengarsipan online di @perpustaxaan. Wawancara ini dilakukan melalui aplikasi chat WhatsApp dan diselaraskan oleh Andang Kelana. Berikut adalah hasil wawancara VJ>Play dengan Hilman Fathoni.
T: Halo Hilman, apa kabar? Boleh ceritakan bagaimana awalnya kamu terlibat pada praktik netlabel?
H: Kabar baik. Wah ceritanya panjang. Saya singkat saja ya. Saya mendirikan Ear Alert Records sekitar tahun 2012. Hal itu dilandasi oleh kesukaan saya membagikan musik secara daring. Setelah platform yang saya pakai (megaupload) mati, kemudian saya menemukan platform lain, ya si netlabel (dan arsip internet) itu. Meskipun sekarang ya sudah tidak aktif merilis apa-apa di netlabel, cuma liat-liat saja sekarang.
T: Waktu itu, kenapa memilih budaya berbagi daring saat pendirian Ear Alert Records ?
H: Ya mungkin karena keakraban saya dengan tradisi berbagi berkas musik di internet sih sebagaimana anak muda yang suka cari musik di internet sekitar tahun 2007-an. Berawal dari mengakses musik di berbagai blog, rasa untuk bertukar informasi musik dalam format rekamannya itu lebih terasa lagi saat saya banyak main di Soulseeker. Di situ saya saling bertukar berkas musik lokal yang saya punya sama penggemar musik di berbagai belahan dunia. Baru setelah itu saya punya kemantapan untuk membagikan berkas rekaman musik lokal saja, yang ujungnya menjadi netlabel itu.
T: Oke, saat itu bagaimana sistem kurasi di Ear Alert Records?
H: Hampir tidak ada kurasi, musik-musik yang saya umumkan itu rata-rata diproduksi teman saya. Jadi ya, dengan landasan pertemanan saja saya merilis musik hasil produksi mereka, yang secara kebetulan saya cocok dengan musik mereka. Pernah juga beberapa kali saya meminta izin suatu band untuk merilis musik mereka karena saya suka, misalnya Gunboat dari Amerika Serikat. Kalau yang kurasi banget pernah juga sih sekali, bikin kompilasi judulnya, Ya Tergantung. itu betul-betul saya kontak satu per satu musisinya, yang saya suka musiknya. Ya landasan kurasinya ada dua sih jadinya, teman + suka = saya rasa pantas untuk dirilis Ear Alert Records.
T: Ah, kamu mengingatkan saya pada kompilasi Ya Tergantung haha. Tapi apakah dalam praktik netlabel perlu memiliki kurasi atau mungkin ada perspektif lain tiap netlabel yang kamu ketahui?
H: Perlu tidak perlu relatif sih, tergantung yang punya netlabel. Kalau pengen netlabelnya punya corak musik cutting edge banget, ya bisa dilihat kecenderungan kurasinya Wok the Rock di Yesnowave. Kalau yang super-santai-anti-kurasi-full-sharing bisa lihat Mindblasting Netlabel yang memang dasar gerakannya ke ranah arsip musik (pelestarian kancah). Tergantung mau jadi netlabel yang seperti apa, sama saja seperti label rekaman pada umumnya sih.
T: Selama terlibat dalam aktivitas netlabel saya tertarik dengan lisensi yang ditawarkan oleh CC. Boleh ceritakan bagaimana kamu bisa tergabung dengan CC?
H: Kalau dianggap terlibat, mungkin dari menjadi pengguna aktif lisensi Creative Commons saat aktif di Ear Alert Records. Kemudian setelah menamatkan studi saya bergabung dengan Creative Commons Indonesia sebagai salah satu pegawai yang tugasnya mensosialisasikan penggunaan tools tersebut ke ranah yang lebih luas (pendidikan misalnya) dengan cakupan seluruh Indonesia di bawah naungan Wikimedia Indonesia, dari tahun 2016-2019.
T: Saat tergabung bersama CC, permasalahan apa yang sering kamu temui di ranah net audio terkait lisensi dan hak cipta?
H: Pertama-tama saya sudah tidak aktif di Creative Commons Indonesia sejak pertengahan 2019, jadi mungkin jawaban saya ini tidak terlalu relevan dengan perkembangan isu terkini. Kalau permasalahan sih hampir tidak ada, karena penerap lisensi CC di ranah musik yang saya temui rata-rata cukup sadar dengan isu pelindungan hak cipta, sekaligus bagaimana mereka melestarikan hak cipta musik mereka dengan menyematkan ketentuan lisensi yang tepat. Cuma yang jadi pertanyaan saya, apakah label-label rekaman daring ini bisa memastikan kalau roster mereka cukup paham dengan hak cipta yang dilestarikan melalui ketentuan lisensi CC yang diterapkan? Karena yang saya tahu, pengetahuan soal ini baru merata di pemilik labelnya saja, belum ke seluruh roster mereka.
T: Nah, menurutmu langkah apa yang harusnya dilakukan oleh pemilik label agar roster-nya memiliki pemahaman yang sama tentang ketentuan lisensi CC?
H: Agak sulit sih. Tapi kalau memang mau ada kepastian hukum, ditambah saling tahu hak dan kewajiban masing-masing ya buatkan saja kontrak sederhana setiap kali musiknya mau dirilis. Semacam surat pernyataan saja jika sang musisi mengetahui dan mengizinkan bahwa musiknya dirilis oleh netlabel di bawah ketentuan lisensi hak cipta tertentu. Jadi mereka tahu konsekuensi hukum ketika musiknya digunakan oleh orang lain, posisinya jadi mereka dengan sadar mengizinkan penggunaan tersebut. Jadi urusan lisensi ini tidak hanya label saja yang berperan aktif, tapi roster-nya juga. Kan lumayan tuh jadi menambah pengetahuan tentang mekanisme kontrak hehe.
T: Tadi kamu juga bilang, dulu saat bertugas mensosialisasikan pengguna tools tersebut ke ranah yang lebih luas sebagai contoh pendidikan. Untuk itu, bisa berikan contoh tentang praktik tersebut?
H: Ya contoh paling gampang Wikipedia. Semua artikel pengetahuan yang ada di situ kan menggunakan lisensi CC yang BY-SA[1]. Implikasinya adalah artikel-artikel Wikipedia dari sudut pandang hak cipta bebas disunting, dibagikan kembali, bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Dengan satu kewajiban yaitu menyebutkan sumbernya dari Wikipedia.
T: Bagaimana praktik netaudio yang terjadi pada masyarakat yang kamu ketahui?
H: Ya kalau yang saya ketahui, berarti pertama kali saya mengenal istilah netaudio itu saat rapat INF3 di KUNCI. Kami mengubah nama Indonesia Netlabel Union menjadi Indonesia Netaudio Forum[2] karena maknanya lebih luas. Dalam artian aktivitas berbagi musik daring itu kan tidak eksklusif di netlabel saja, banyak sekali label rekaman yang memanfaatkan platform daring untuk membagikan musik tanpa menamai dirinya netlabel, terlepas mereka menerapkan kaidah keterbukaan atau tidak. Dari ranah yang paling underground sampai mainstream, yang sekarang makin kabur juga batasannya. Ya mungkin esensinya, ada pergeseran makna aja, kalau proses berbagi musik daring itu sudah tidak eksklusif dimiliki oleh kancah tertentu, atau, jangan-jangan, bahkan dari awal memang tidak eksklusif? Begitulah. Yang membuatnya tidak eksklusif, mungkin, karena koneksi internet sekarang sudah semakin merata dan bisa diakses oleh lebih banyak kalangan. Begitu sih.
T: Bagaimana kamu melihat berbagai pementasan musik daring selama masa pandemi COVID-19?
H: Saya tidak terlalu mengikuti pementasan-pementasan musik daring yang terjadi selama pandemi. Jadi saya kurang tahu apakah perpindahan format ini berhasil menjadi solusi untuk menggantikan yang tidak ada sekarang, karena adanya pandemi. Tapi mungkin yang bisa disoroti, sama halnya dengan masalah akses terhadap materi pembelajaran oleh anak sekolah, dengan belum meratanya koneksi internet (meskipun sudah semakin banyak). Para musisi yang tidak terlalu atau bahkan sama sekali tidak mengenal platform pementasan musik daring (misalnya para seniman musik tradisi di pedalaman atau daerah yang literasi teknologi informasinya rendah) semakin kehilangan ruang pertunjukannya (entah untuk menopang ekonomi atau sekedar mendapat apresiasi) mungkin? Saya sepertinya belum melihat ada inisiatif yang secara spesifik menyasar hal ini untuk diberikan solusi. Wajar sih, yang sudah terbiasa dengan internet pun sepertinya juga masih terlunta-lunta untuk menciptakan solusi mandiri di masa seperti ini, di bidang apapun, tidak hanya musik.
T: Oke, akhir-akhir ini kamu aktif berkegiatan di @perpustaxaan. Boleh ceritakan dan bagaimana cara kerjanya?
H: Inisiatif pengarsipan daring terhadap konten atau informasi bermuatan lokal. Saat ini @perpustaxaan mendokumentasikan musik punk lokal di #PunkArsipan dan literatur alternatif seperti zine di #ArsipLiteratur dari berbagai sumber daring. @perpustaxaan membagikan konten arsip secara terbuka beserta informasi terkait konten arsip dalam format tabel (spreadsheet). Salah satu target @perpustaxaan selanjutnya adalah memproduksi produk pengembangan dari arsip, seperti katalog koleksi dalam bentuk bacaan (ensiklopedia atau bentuk bacaan lain) dan basis data yang mudah diproses oleh mesin (machine readable).
T: Begitu, apakah dalam waktu dekat sedang merencanakan sesuatu bersama INF?
H: INF saat ini tengah mempersiapkan konser virtual bertajuk “INF In-Game Club”. Perhelatan ini akan dilaksanakan melalui platform permainan bernama SWGBBO. Selain konser musik virtual, kami juga akan menjadikan helatan ini sebagai hub interaksi antar komunitas untuk bersolidaritas di masa pandemi ini. Untuk lebih lengkapnya bisa ikuti akun instagram kami di @idnetaudioforum.
Informasi Tambahan:
https://id.wikimedia.org/wiki/Hilman_Fathoni
http://earalertrecords.blogspot.com/
http://idnf.club/
https://wikimedia.or.id/
https://creativecommons.or.id/
https://www.instagram.com/perpustaxaan