Pada 16 Juni 2020, (T) Theo Nugraha mewawancarai seorang Musisi asal Jakarta, (J) Jesslyn Juniata, dia adalah seorang Produser dan salah satu anggota duo elektronik JESLLA. Wawancara ini dilakukan melalui aplikasi chat WhatsApp dan diselaraskan oleh Andang Kelana. Berikut adalah hasil wawancara VJ>Play dengan Jesslyn Juniata perihal peluncuran single terbarunya sebagai Lotus From Jakarta berjudul Secret Invasion yang dirilis via platform digital pada 5 Juni 2020 lalu.
T: Kenapa menggunakan nama “Lotus From Jakarta” ?
J: itu adalah arti dari nama gue. Dan memang mendeskripsikan konsep project solo ini yang paling baik, tapi bisa multitafsir juga. Jakarta itu kota kelahiran gue yang emang biar harapannya tuh si “Jakarta” ini bisa dibawa kemana-mana. Sedangkan Lotus kan bisa jadi juga simbol spiritual, gue anaknya lumayan spiritual sih. Maksunya bukan harus fanatik dalam menganut suatu agama, gak gitu. Tapi spirituality as the way of living.
Jadi kehidupan itu ada akarnya, dan darimanakah akarnya itu, yang akan menentukan sejauh apa tujuannya. Terus kalo bunga teratai itu kan, dia bisa hidup dari lumpur. Itu yang menurut gue puitis banget, dan menggambarkan kehidupan ini. Kayak hidup di tengah banyak ‘sampah’ tapi bisa tetep kuat bertumbuh, indah, dan jadi berguna buat serangga-serangga atau binatang kecil lainnya.
T: Begitu, apa yang membedakan praktik berkarya di proyek solo ini dari Jeslla atau proyek kamu lainnya?
J: Kalo Jeslla sebetulnya lebih kepada hasil peleburan dua wanita yang bercerita tentang hal-hal personal, hubungan, percintaan, intimacy. Beda banget isinya sama ini. Karena ini memang kebanyakan dari fantasi gue dan semacam pengaruh dari keresahan terhadap kondisi sosial. Tujuan utamanya kebebasan berimajinasi, against a very normative society, super straight upbringing, mundane reality, and as a form of the healing process, to become her very-very true self, outside of this world. In other words, my own ego.
T: Kalau secara komposisi musik?
J: Untuk sekarang sih banyak inspirasinya itu justru bukan dateng dari musik lain, tapi dari film, terutama science fiction. atau film apapun yang premisnya tuh futuristik atau berbau-bau magic. Sejauh ini sih, bisa dibilang lebih “ngasal”.
T: Boleh ceritakan bagaimana proses pengerjaan Secret Invasion?
J: Secret Invasion sebetulnya udah kebayang sketch-nya dari 2016, udah cukup lama sih. Awalnya gue dapet hook-nya dulu, melodi dan lirik “secret invasion…“, itunya doang. Tapi enggak langsung gue save karena waktu itu mikirnya, ah kalo besok lupa sama hook-nya berarti ni lagu kurang bagus untuk diinget. Tapi ternyata masih inget terus sama hook-nya itu di kepala bahkan sampe bertahun-tahun setelahnya. Lalu baru sempet ngerjain lagi di 2019 akhir, mulai dituangin hook dan melody-nya duluan, direkam, musiknya cuma pake loop-loop synth yang ada dari logic aja.
Project ini tuh beneran suka-suka aku banget sih. Kalo misalnya ada musisi/seniman yang menurut aku menarik, aku suka ajakin ikutan. Dan workflow-nya ga ada yang fix, bener-bener tergantung dari respon orangnya juga. Karena emang tujuannya, for fun. Kemudian aku ajakin si marcell ini, dia mulai kasih ide beat four on the floor-nya itu. Aku anaknya ngalir aja sih, terus singkat cerita ku aransemen-aransemen lagi, lalu take synths dan bass, vokal, isi lirik, dan jadilah bentuk musik elektronik yang minimalis, tapi sinematik juga, terutama di intro nya. Lalu, ya kebanyakan emang dikerjain semua sendiri. Setelah jadi, gue mix, dan mastering sendiri.
T: Selama proses mixing dan mastering, apakah kamu memiliki kendala dalam pengerjaannya?
J: Mungkin karena kelamaan bikin sendiri, waktu mixing tuh bias banget ya. sempet yang kayak ngerasa mixingan-nya nih berat ke kanan, terus aku sampe mikir ini speaker-nya yang rusak apa gimana ya. Terus mengatasinya yah perlu istirahat beberapa hari dulu. sempet juga bias gak pede sama aransemen, karena kan beats nya dari kick aja, ga ada snare, ga ada hihat bahkan, pure kick doang. Tapi akhirnya aku cuek aja lah karena aku udah suka sama bunyinya. Bikin jadi minimalis lumayan susah sih.
T: Berati temuan apa yang kamu temukan nih dalam proses mixing dan mastering tersebut?
J: Kalo dari seluruh prosesnya, bukan dari mixing atau mastering yah, ya kerasa aja bahwa meskipun bisa dikerjain sendiri, tetep butuh orang lain sih, dan penting banget kehadiran orang lain. meskipun banyak banget juga pelajaran yang di dapet. tapi ga akan ada yang menggantikan hubungan antar manusia tuh. mau zoom call 100x juga ga sama. Iya mungkin salah satu kesulitan ketika post production juga di frequency staging-nya. karena cukup dominan di area low end nya, jadi agak tricky untuk bikin pondasi lagunya kicking, deep, tapi gak muddy.
T: Oiya, gear apa saja yang kamu gunakan dalam single ini?
J: lagu ini, synths nya pake Dave Smith Instrument Prophet 6, bass nya pun juga prophet 6, dan juga yang di intro dari VST Ableton dan VST Logic Pro X, synth bass yang di-layer. Kick juga samples. Ambience–nya juga samples semua. Tapi yang beda disini yaitu VO nya, karena vokal yang di re-amp ke plugins pitch dan formant untuk dapetin suara robotnya, dan nuansanya pakai reverb yang di reverse untuk dapetin room-nya.
Audio interface-nya Apollo Twin MK II, yang karakter vokalnya, meskipun kering aja uda enak banget menurutku. Mastering-nya aku pakai software dari brand iZotope. Simple sih sebetulnya kebanyakan in the box, yang take hanya synths dan vocal aja.
T: Musik elektronik apa yang kamu dengar dan musik apa saja yang mempengaruhi kamu berkarya?
J: Jujur kalo dengerin musik aku ga mikirin sih genrenya harus elektronik atau harus terkotak. Meskipun aku sendiri masih belajar soal definisi masing-masing genre itu yang kayak gimana. Yang penting lagunya tuh ‘ngena’ gitu. Dan emang pas aja buat didengerin sih. Susah kalau diomongin, tapi energinya tuh berasa kalau si musisi ini, buatnya bener-bener menyalurkan dirinya ke dalam musiknya, (beda) sama yang sekedar, yah bikin bikin aja atau berharap jualan aja. Kalau spesifik referensi yang aku dengerin sendiri, bisa didenger di playlist Spotify ini. Tapi biasanya aku akan tertarik sama musik yang ritmiknya tuh lucu. Atau chord-nya ada yang aneh, atau ada hal yang gak biasa aja di musiknya itu
T: Musik Indonesia yang kamu denger akhir-akhir ini siapa?
J: akhir akhir ini ya.. hm. Jevin Julian, Tanayu, Neonomora, Petra Sihombing, Hindia. Oh iya Mantra Vutura aku suka tuh bagus.
T: Oiya, semangat mandiri apa saja yang terjadi di single ini? Karena yang aku baca di press release kamu melewati beberapa hambatan dalam berkaya di masa pandemi.
J: Betul. Hambatan utamanya finansial sih. Jadi harus puter otak dan tenaga untuk kerjain sendiri. Tapi jadi seru juga. Terus ke depannya sebetulnya ada video klip yang masih surprise kapan rilisnya. Tapi itu ku gambar sendiri. Aku gak bisa gambar sebetulnya. Bisanya mewarnai aja. Tapi prosesnya lumayan menenangkan sih. Karena konsepnya stop-motion kan, jadi harus buat gambar yang banyak untuk video klip nya. Jadi manual satu-satu gambarnya.
T: Oke, Filem dan TV Series apa yang terakhir kamu tonton?
J: Film: Annihilation, Ex Machina, Theory of everything, dokumenternya Stephen Hawkings. Kalo TV series tuh Love Death Robots, Altered Carbon, Midnight Gospel, Better Call Saul. itu sih yang terakhir.
T: Oke, makasih waktunya Jess. Sehat selalu.
LOTUS FROM JAKARTA adalah Jesslyn Juniata, yang lahir di Jakarta dan adalah seorang produser, engineer, pemain synthesizer, dan penulis lagu dari Indonesia. Pertama kali hadir dengan duonya Jeslla pada tahun 2017, dia juga dikenal sebagai keyboardis tambahan untuk beberapa band independen Indonesia seperti Goodnight Electric, Polka Wars, dan Tanayu. Terlibat dalam komposisi musik layar lebar untuk “Banda: The Dark Forgotten Trail” pada 2017, dia juga terpilih sebagai salah satu Goethe Talents 2019, dan diberikan beasiswa singkat oleh Goethe Institute untuk mengunjungi Berlin, Jerman, dan tampil di Festival Internasional Pop-Kultur Nachwus.