Pada 28 Mei 2020, (T) Theo Nugraha mewawancarai seorang Musisi dan Seniman asal Jakarta, (H) Harlan Boer, sebagai pemusik pernah tergabung antara lain dalam kelompok musik Room V (bas), the Upstairs (keyboard), dan C’mon Lennon (vokal). Selain itu, turut menjadi produser album Efek Rumah Kaca, Bangkutaman, Aubrey Fanani, dan sejumlah rilisan lainnya. Rilisan Harlan sebagai singer-songwriter sebelum album ganda “Fidelitas Cinta” berupa dua single, empat mini album, satu split album, dan dua album penuh, juga proyek musik mini album bersama Bangkutaman dengan nama DAM DAM POP!. Wawancara ini dilakukan melalui aplikasi chat WhatsApp oleh (T) Theo Nugraha dan diselaraskan oleh Andang Kelana. Berikut adalah hasil wawancara VJ>Play dengan Harlan Boer perihal peluncuran album terbarunya berjudul “Fidelitas Cinta” yang diedarkan oleh Visual Jalanan pada 8 Juni 2020.
T: Kenapa akhirnya merilis album dengan format mixtape? Apa yang terlintas?
H: Berawal dari ajakan membuat mixtape untuk section VJ>Play di website Visual Jalanan. Karena saya tidak biasa menyimpan lagu di komputer, kecuali master album-album saya sebelumnya, jadi saya pikir, rekam saja lagu-lagu baru. Jadinya sekalian merilis album baru.
T: Pada umumnya orang-orang menyimpan lagu di komputer mereka, sedangkan jawaban tadi kamu mengatakan tidak biasa. Boleh ceritakan kenapa?
H: Karena sampai hari ini saya terbiasa mendengar lagu dari kaset, CD, dan piringan hitam. Untuk format digital, saya memutar lagu atau album di Youtube, website, atau layanan streaming lainnya. Saya tidak menyimpannya.
T: Untuk beberapa kasus, ada musisi atau seniman audio merilis digital dengan bebas unduh. Apakah pernah punya pengalaman mengunduh?
H: Oh, ya, tentu pernah juga, terutama rilisan-rilisan Yes No Wave Music.
T: Siapa saja?
H: Banyak sekali katalog Yes No Wave Music, di antaranya Armada Racun, Frau, The Upstairs, Jirapah, Semakbelukar.
T: Hahaha. Itu nama-nama yang sudah pasti membuat kita mengunduh audio mereka. Ngomong-ngomong kamu ada pengalamam kocak gak saat streaming ?
H: Ya, pernah bingung waktu mutar lagu di Spotify, karena saya belum berlangganan. Ini cara mutarnya bagaimana? 🙂
T: Hahaha itu agak kocak. Album kamu dengan format mixtape digital ini bisa membuka peluang orang-orang untuk mengunduh dengan cara apapun, bagaimana tanggapan kamu?
H: Senang.
T: Kenapa?
H: Karena ada yang mendengar dan menyimpannya.
T: Oke, bagaimana dalam proses album ini. Apakah ada hal lucu saat pengerjaannya?
H: Karena lagu (di) era pandemi corona dan saya segan (untuk) banyak keluar rumah, jadi album ini saya kerjakan di rumah. Tapi di rumah, saya juga tidak punya infrastruktur yang memadai: Tidak ada software rekaman musik di komputer, tidak ada mikrofon, bahkan tidak ada gitar yang proper. Hanya ada gitar Yamaha akustik nylon punya istri saya, yang senarnya putus satu dan agak sember. Jadi, album ini saya rekam (secara) live hanya dengan handphone Oppo CE0700 saya, (dengan) menggunakan beberapa alat musik yang ada di rumah: Gitar istri saya, harmonika yang dikasih teman saya, drum machine Roland keluaran 1987 yang sekitar dua tahun ini dipinjamkan oleh teman saya bersama dengan adaptor yang agak menghasilkan noise. (Lalu) dicolok ke amplifier bass Cort, glockenspiel, casio SA-5, tambourine dan baby tambourine yang sudah agak rusak.
Kadang suara nyanyi saya di kamar atas sampai terdengar mertua dan anak saya di lantai bawah. Ada juga satu lagu di mana ketika saya merekam dan hampir selesai, anak saya masuk ke kamar ngajak ngobrol. Juga pernah hujan lebat, jadi sekalian saja saya rekaman sebuah lagu, supaya suara hujan masuk ke dalam rekaman.
T: Tapi gak masuk ya suara rekaman anak ngajak ngobrol?
H: Samar-samar ada di ujung rekaman lagu, Dari Rumah.
T: Apa temuan kamu selama pengerjaan? Secara komposisi?
H: Secara komposisi, saya memanfaatkan beberapa alat musik yang ada di rumah dan kesemuanya saya mainkan sendiri. Secara metode merekam, dilakukan dengan live recording dan menggunakan handphone, sehingga perlu cara tertentu untuk merekamnya: Seberapa besar volume amplifier untuk drum machine, seberapa power saya untuk bermain gitar, seberapa power vokal saya. Juga kapan memencet tombol play dan mematikan instrumen, dengan sebisa mungkin sinkron dengan memencet tombol record dan juga mematikannya di handphone. Kesemua itu menghasilkan konsekuensi komposisi dan aransemen rekaman. Selain itu, secara lokasi, saya merekamnya di kamar, sehingga ada konsekuensi produksi di mana saya tidak mungkin merekam terlalu malam—bagaimanapun bagusnya mood saya saat itu, serta rekaman menghasilkan ambience ruang yang tak bisa banyak diotak-atik. Secara suasana era, kebanyakan lagu di album ini ditulis pada masa pandemi corona, di mana saya sangat banyak di rumah, beradaptasi dengan keadaan, dan akses pertemuan dibatasi sementara istri saya sedang studi di Leiden, Belanda. Kesemuanya, termasuk kelemahan-kelemahannya, menjadikannya paket artistik album rekaman ini.
T: Dari beberapa pernyataan tersebut, apakah kamu sadar bahwa ada soundscape yang punya peran dalam ruang-ruang berkarya tersebut? Apakah soundscape tersebut membuat komposisi lebih baik atau sebalikanya?
H: Yang paling jelas adalah contoh yang saya sebutkan sebelumnya, di mana saya memanfaatkan hujan turun dengan lebat sebagai pendukung suasana lagu.
Secara metode rekam dan alat musik yang saya gunakan, tentu mendekatkan sound album ini dengan gaya merekam sketsa lagu di era dahulu, di mana pengarang lagu biasa menggunakan tape recorder. Ada gaya suara tertentu ketika hasil kaset sketsa tersebut diputar di tape, termasuk bersama noise dan ambience yang turut terekam. Saya merasa familiar dengan segala sound tersebut, karena dulu kakak saya suka membuatnya di rumah ketika dia menemukan ide lagu, atau mungkin juga hanya untuk “bermain”. Jauh kemudian, saya tahu rekaman-rekaman lo-fi Daniel Johnston atau ketika demo tape lagu-lagu Nirvana dirilis. Juga pernah di suatu acara konser Vina Panduwinata yang ditayangkan di televisi, diputar demo tape lagu karangan James F. Sundah dengan gitar dan suara James sendiri, yang bagi saya ketika mendengarkannya, rekaman itu memiliki sensasinya sendiri. Bawah sadar saya sangat mungkin tersugesti oleh hal-hal tersebut di atas.
T: Iya, saya sangat kental membaca metode lo-fi disini. Bahkan ini cukup gila juga, mengerjakannya melalui rekaman handphone, pada saat ini juga (pandemi). Dan cukup sulit menemukan metode lo-fi seperti ini.
H: Ya, karena kebanyakan musisi sekarang memiliki software rekaman di komputer, atau punya alat rekaman minimalis di kamarnya, tentu menjadi susah menemukan musisi merekam dengan gaya ini, bahkan bila hanya untuk demo sekalipun. Sementara saya tidak. Saya gaptek dan biasa merekam album di studio, minimal merekam di rumah teman. Jadi, ketika opsi rekaman keluar rumah saya hilangkan, maka saya hanya bisa merekam dengan handphone.
T: Baiklah, komposisi yang baik menurut kamu bagaimana?
H: Yang dirasa enak. Dan itu bisa berlainan antara satu orang dengan orang lainnya. Tapi, juga bisa ada keuniversalannya. Umumnya, saya sepakat dengan nama-nama musisi yang dianggap paling jagoan di bidangnya atau genre-nya. Kesepakatannya hampir menyerupai atlet olahraga jagoan yang tolak ukurnya sangat jelas.
T: Contohnya?
H: Pendapat saya: The Beatles, Queen, Ramones, Beastie Boys, The Cure, Herbie Hancock, Bob Marley, Rhoma Irama, ya pokoknya nama-nama besar yg dianggap jagoan oleh dunia, buat saya mereka memang jagoan. Seperti atlet-atlet jagoan yang gampang diukurnya bahwa dia jagoan: Michael Jordan atau Mike Tyson.
T: Grup musik Indonesia yang kamu dengarkan akhir-akhir ini?
H: Yang paling saya suka: Semakbelukar. Tapi kebanyakan yang paling sering saya dengarkan kayaknya nama-nama besar di bidangnya, termasuk misalnya The Velvet Underground, David Bowie, Desmond Dekker, Black Flag, Napalm Death, Daniel Johnston, dll
T: Baiklah, apakah Ada filem yang kamu tonton akhir-akhir ini?
H: Oh, akhir-akhir ini nonton beberapa filem musik seperti Beastie Boys Story dan Miles Ahead.
T: Wah, lagu Beastie Boys favoritmu apa?
H: Tiga besarnya: Sabotage, Egg Raid on Mojo, dan Intergalactic, itu pun saya agak ragu dengan urutannya.
T: Oke, terakhir. Makanan apa yang menemanimu membuat album ini?
H: Wah, gak sambil ngemil kayaknya. Mungkin sambil minum teh tawar.
T: Hahaha. Terima kasih Harlan Boer!
H: Sama-sama dong Theo 🙂