Esion Vs Bandersnatch Dalam Interaktivitas

Esion Vs Bandersnatch Dalam Interaktivitas

Esion Vs Bandersnatch Dalam Interaktivitas 1280 720 Extended.Asia.Play

Ah… betapa terlambatnya saya baru merilis tulisan ini sekarang. Anggraeni Widhiasih, anggota Milisifilem: Melati, telah merilis tulisannya tentang diskursus kepenontonan dan ‘gangguan’ dari Esion. Tentu, tulisan Anggra lebih mapan dan komprehensif dibanding tulisan saya di bawah—Anggra telah mengupas pembacaan apa yang dapat dipahami dari Esion dan menjabarkannya dengan apik. belum lagi celetukan Theo Nugraha dengan nyinyir khasnya saat saya menyebutkan saya akan melanjutkan tulisan tentang performans kami ini. “Sudah basi, panasin dulu sana di dapur!”, timpalnya. Theo adalah salah satu anggota Milisifilem: Anggrek dan sound artist asal Kalimantan Timur, otak dari performans Esion kemarin. Ya, terang saja sudah basi. Performans tersebut sudah lewat 2 bulan.

Milisifilem adalah platform studi praktik-praktik dan eksperimentasi visual yang diinisiasi oleh Forum Lenteng, baik secara teknis maupun terkait dengan konteks sosial budaya. Milisifilem terdiri atas tiga angkatan: Melati, Mawar, dan Anggrek. Milisifilem: Anggrek kemudian menginisiasi proyek Esion (selengkapnya tentang Esion dibahas di bawah) untuk dipresentasikan pada acara Akademi ARKIPEL, salah satu agenda ARKIPEL Film Festival berbentuk lokakarya seputar praktik audio-visual filem, di bulan Januari.

Meski sudah lewat 2 bulan, satu hal sederhana yang cukup memancing saya untuk menulis tentang Esion sebenarnya adalah salah satu poin dalam diskusi pasca-performans: interaktivitas. Prashasti Wilujeng Putri, salah satu anggota Milisifilem, dalam diskusi tentang interaktivitas tersebut sekilas menyebutkan Bandersnatch, episode spesial dari seri televisi Inggris Black Mirror yang dirilis tak lama sebelum performans Esion digelar.

 

Sekilas Tentang (Interaktivitas) Bandersnatch

akhir tahun 2018, Netflix merilis satu episode spesial dalam bentuk filem panjang interaktif dari seri Black Mirror terbaru berjudul Bandersnatch. ditulis oleh Charlie Brooker, pembuat serial Black Mirror, dan disutradarai oleh David Slade, Bandersnatch bercerita tentang seorang programmer muda Stefan Butler yang ingin menciptakan permainan video adaptasi dari novel yang berjudul sama pada tahun 1984. Episode ini kemudian menjadi buah bibir publik di hampir seluruh penjuru dunia, karena ‘gebrakan’-nya membuat tayangan interaktif: choose-your-own-adventure. Penonton tidak lagi menikmati cerita secara pasif, namun turut secara aktif menentukan jalan cerita dan perilaku tokoh utama. dalam beberapa kesempatan, penonton dihadapkan dengan dua pilihan yang harus diambil, diberi interval waktu sekitar 30 detik untuk memilih, dan akan berpengaruh terhadap alur dan akhir cerita nanti.

Black Mirror: Bandersnatch, 2018.

hebohnya Bandersnatch membuat wacana interaktivitas penonton mulai hangat dibicarakan. Coba saja googling dengan kata kunci ‘bandersnatch interactivity’—hasil pencarian yang banyak muncul adalah artikel yang menggadang-gadang Bandersnatch sebagai permulaan genre storytelling yang interaktif di masa depan—atau bahkan permulaan bagi storytelling berdasarkan perhitungan algoritma. Bukan berarti format interaktif ini merupakan format yang baru sama sekali—pola choose-your-own-adventure telah banyak digunakan sebelumnya dalam novel, filem, permainan video, web series, episode serial televisi, dan video musik. Sejarah interaktivitas penonton telah ada jauh sebelum Bandersnatch.

 

Apa Hubungannya dengan Esion?

Pola interaktif yang (kembali) booming akibat rilisnya Bandersnatch kemudian menimbulkan keterkaitan—setidaknya menurut apa yang disinggung Asti—antara Bandersnatch dengan Esion, karya performans bunyi interaktif yang ditampilkan oleh partisipan Milisifilem kelas Anggrek pada acara Akademi ARKIPEL, 10 Januari 2019 lalu. performans ini tak kalah booming dan menjadi buah bibir—meski hanya di lingkup 4L (lo lagi lo lagi) saja, Forum Lenteng dan lingkarannya. Tak apa, menjadi buah bibir di kalangan pegiat seni seperti Forum Lenteng merupakan sebuah pencapaian tersendiri.

Milisifilem: Anggrek, Esion, 2019. Foto: Arsip ARKIPEL.

Performans bunyi ini terdiri dari komposisi audio rekaman di lokasi-lokasi tempat membuat sketsa di sekitar Jl. H. Saidi (Kantor Forum Lenteng di Jagakarsa) dan juga gelombang bunyi yang dihadirkan oleh Theo Nugraha, Alifah Melisa, Ahmad Humaidi, dan Niskala Hapsari Utami, performans live menggambar yang bunyinya diamplifikasi lewat microphone oleh Erviana Madalina, Syahrullah, dan Taufiqurrahman, serta performans live vokal oleh Maria Deandra dan Pychita Julinanda (saya, penulis). semuanya menjadi satu komposisi Soundscape dalam ruangan performans dan disimbolkan lewat graphic score.

Ada dua poin utama yang membuat performans Milisifilem: Anggrek ini menjadi performans interaktif. Pertama, adalah simbol-simbol dalam graphic score yang dapat diinterpretasikan secara bebas. Interpretasi bebas graphic score tersebut telah disinggung sekilas oleh Manshur Zikri dalam tulisan ini, dan juga lebih komprehensif lagi dalam tulisan Anggra. penonton tidak harus membaca secara terstruktur graphic score tersebut, namun dapat membacanya entah dari tengah, atas, bawah, ataupun dari mana pun sesuai pembacaan mereka. simbol yang dipampang pun dapat diinterpretasi dengan bagasi pengetahuan mereka sendiri tentang apa itu bunyi ‘kebiasaan’ atau ‘aktivitas’, misalnya. Poin ini yang kemudian menjadikan performans bunyi ini menjadi interaktif, karena penonton tidak dibatasi dalam membaca dan menginterpretasikan bunyi yang dipresentasikan dalam performans —tidak terkungkung dalam satu pesan yang dibawa oleh si seniman.

Milisifilem: Anggrek, Esion, 2019. Foto: Arsip ARKIPEL.

Poin lain yang mendukung interaktivitas dalam Esion adalah performans vokal yang berada di tengah-tengah penonton, dan tentunya memancing reaksi penonton di sekitarnya. Reaksi tersebut kemudian menjadi sebuah partisipasi terhadap komposisi soundscape di ruangan performans yang meskipun tertutup, tetapi cukup luas untuk menampung keramaian sekian audiens yang mengikuti agenda Akademi ARKIPEL dan menonton performans Esion. Performans vokal live dalam Esion memicu reaksi penonton yang beragam—mulai dari tahapan penonton belum sadar bahwa vokal tersebut merupakan bagian dari performans, sehingga menimbulkan reaksi semacam bisikan “ssttt!!” menyuruh diam, lontaran teguran, omelan, hingga pukulan terhadap performer; lalu hingga penonton sadar dengan adanya performans vokal live serta interaktivitas yang ditawarkan dan mereka akhirnya dengan sadar memilih untuk terlibat dalam komposisi soundscape tersebut, dengan merespon obrolan vokal live dari performer ataupun memancing obrolan dengan performer.

 

Lebih Jauh Tentang Interaktivitas Bandersnatch

jika melihat kembali Bandersnatch, sesungguhnya ‘interaktivitas’ yang diusung oleh episode Black Mirror tersebut berada dalam konsep interaktivitas yang berbeda dari Esion. Black Mirror dikenal oleh publik dengan tema dan pesan yang dibawa terkait dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat muncul akibat teknologi tersebut—dan, kebanyakan, Black Mirror mengangkat kemungkinan-kemungkinan ‘terburuk’ seputar teknologi. kita bisa berkaca dari episode Hated in the Nation (SPOILER ALERT!) tentang kemungkinan penyalahgunaan teknologi lebah artifisial, bergabung dengan kekuatan sosial media yang tidak dapat dibendung, yang kemudian menimbulkan petaka sebegitu masifnya. dan siapa bisa menyangkal bahwa itu tak mungkin terjadi, apalagi dengan maraknya isu Colony Collapse Disorder (CCD) dan wacana pengembangan lebah artifisial (Artificial Bee Colony/ABC)?

Black Mirror: Hated In The Nation, 2016. Manusia dan Kemajuan Teknologi yang Tidak Dapat Dipungkiri.

Masih berada dalam wacana teknologi yang sama, interaktivitas yang diangkat Bandersnatch adalah ‘interaktivitas semu’. Pada sesi diskusi pasca-performans, saya merespon keterkaitan interaktivitas Bandersnatch dengan Esion dengan menyampaikan (kira-kira) bahwa interaktivitas yang ditawarkan Bandersnatch tidak ‘secanggih’ Esion. Opsi yang ditawarkan Bandersnatch terhadap penonton sangat terbatas, dibanding dengan Esion yang memiliki opsi yang terbuka lebar. ‘Ketidakcanggihan’ Bandersnatch dalam menawarkan dan mengangkat interaktivitas (semu) ini, menurut pembacaan saya, tentu tidak bisa lepas dari konteks dan isu teknologi yang kerap diangkat oleh Brooker dkk dalam Black Mirror.

Terlepas dari kualitas Bandersnatch, terutama dibandingkan dengan episode-episode lain dan terlebih ekspektasi publik terhadap episode ini, sekiranya Bandersnatch hendak mengangkat satu diskursus: (ilusi) kontrol atas teknologi. siapa yang sesungguhnya memiliki kontrol di sini? apakah penonton benar-benar memiliki kontrol dengan (akhirnya) dapat menentukan jalan cerita? ataukah sesungguhnya opsi tersebut hanya memberikan penonton ilusi, seolah-olah mereka memiliki kontrol atas (penciptaan dan penggunaan) teknologi, pun sebenarnya opsi yang mereka miliki sangat terbatas dan tetap bergantung pada teknologi tersebut? (atau mungkin: bergantung pada segelintir orang penggerak teknologi ini?) apakah sebenarnya kita, pengguna teknologi dan sistem informasi, memiliki kontrol atas penggunaannya, ataukah kita yang dikontrol oleh teknologi dan sistem informasi?

Black Mirror: Bandersnatch, 2018. “Who’s in Control?”

 

Sementara, Esion

Sementara interaktivitas Esion memantik diskursus yang berbeda lagi. tidak terkait dengan diskursus (kontrol atas) teknologi, interaktivitas Esion memunculkan perspektif yang berbeda dari pemahaman kepenontonan pada umumnya. Esion menawarkan opsi yang hampir tidak terbatas kepada penonton melalui graphic score dan performans vokal. Pembacaan graphic score tidak harus dari kiri ke kanan—atau kanan ke kiri jika penonton terbiasa membaca huruf Arab. Dari tengah, dari samping, dari bawah, dari mana-mana juga tidak masalah.

Pembacaan terhadap graphic score memiliki interpretasi bebas, sesuai dengan pemetaan penonton sendiri terhadap bunyi yang ditangkap. meskipun Esion memperdengarkan berbagai jenis bunyi secara bersamaan (gelombang bunyi, audio rekaman, suara alat tulis yang diamplifikasi oleh microphone, serta suara performans vokal), tentu tiap orang tidak menangkap secara sama, bergantung pada faktor subjektivitas masing-masing seperti jarak terhadap sumber bunyi (Widhiasih, 2019), di mana penonton lebih bersifat pasif—fokusnya bergantung pada faktor jarak tersebut, ataupun fokus penonton terhadap bunyi mana yang lebih dominan menangkap perhatiannya, di mana penonton lebih bersifat aktif—memilih sendiri fokusnya). Hal ini menimbulkan interpretasi terhadap bunyi yang ditangkap kemudian berbeda-beda. Dan, hal tersebut sah-sah saja, dan justru diakomodir oleh Esion.

Milisifilem: Anggrek, Esion, 2019. Foto: Arsip ARKIPEL.

Esion juga mengakomodir kemungkinan tak terbatas lainnya, yaitu partisipasi penonton terhadap soundscape. ketika kedua performer vokal mulai berbicara dengan satu sama lain, dan mengajak penonton berbicara pula, penonton sadar bahwa mereka dapat berpartisipasi dan menyumbang ‘kebisingan’. Kebisingan mereka adalah bagian dari performans, bagian dari soundscape. Penonton, dengan sadar dan secara langsung menjadi satu dengan karyanya, bukan penikmat pasif yang menjadi bagian terpisah dari karya yang hanya melihat-lihat atau mengamati, ataupun menjadi satu dengan karya secara tidak langsung dan tidak sadar. Apakah penonton hendak berkontribusi dengan terhadap kebisingan dengan tepuk tangan? tertawa cekikikan? teriakan? pertanyaan? obrolan dan celetukan kepada perfomer vokal—yang sesungguhnya hanya katalis, karena seluruh audiens di ruangan adalah performer pula? atau penonton memilih untuk diam saja, tidak menambah kebisingan yang sudah ada? opsi-opsi ini diakomodir oleh Esion yang ‘mengaktivasi’ (ibid) penonton menjadi penonton yang sadar akan posisinya sebagai audiens yang terlibat aktif dan memiliki pilihan hampir tak terbatas yang bisa ia pilih dalam performans. bahkan, ketika penonton memutuskan untuk diam saja dan mengamati, ia memilih opsi tersebut dengan ‘kebebasan’ penuh; bukan karena ia dituntut diam sepanjang menonton performans.

Milisifilem: Anggrek, Esion, 2019. Foto: Arsip ARKIPEL.

 

Jadi…?

Interaktivitas sesungguhnya merupakan topik yang interesan untuk dikulik menjadi pembacaan yang lebih dalam, terutama pembacaan yang kontekstual. Esion dan Bandersnatch hanya dua dari sekian ‘karya interaktif’, namun keduanya menawarkan konteks yang berbeda dari interaktivitas itu sendiri, yang dapat menghasilkan pembacaan terhadap pemahaman ‘interaktivitas’ yang berbeda pula. Apakah Bandersnatch dan Esion berkaitan? entah, tapi bukan itu yang hendak dicari tahu ataupun dijawab oleh penulis. Poin ulasan penulis terdapat pada bagaimana Esion dan Bandersnatch mengangkat ‘interaktivitas’ dalam konteks dan perspektif yang berbeda.

Foto: Arsip ARKIPEL.

Pychita Julinanda

Lahir 16 Juli 1998 di Jakarta. Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia angkatan 2016 yang ingin segera lulus dan harus membagi waktu dengan kegiatan aktif di Milisifilem Collective. Penerjemah Lepas. Penulis, terkadang.

article above by: Pychita Julinanda

    error: Content is protected !!